H.O.S Tjokroaminoto lahir
di Ponorogo, JawaTimur 18 Agustus 1882
(ada yang menulis beliau lahir 20 Mei 1882. Tepat pada waktu Gunung
Krakatau meletus). Ia merupakan anak kedua dari dua belas bersaudara putra dari Raden Mas Tjokoamiseno, seorang Wedono (pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II
kabupaten) di Kleco, Madiun dan cucu
R.M Adipati Tjokronegoro bupati Ponorogo. De
Ongekroode Van Java (Raja Jawa tanpa mahkota) seperti itulah kaum Kompeni Belanda menyebutnya.
Pergerakkannya dalam membela kaum pribumi saat itu benar-benar menempatkannya menjadi seorang tokoh yang dihormati. Bersama istrinya, Suharsikin yang merupakan anakbupati Ponorogo, mereka mendirikan indekost
di rumahnya di gang Paneleh VII, Surabaya, dan melalui rumah inilah Tjokroaminoto menyalurkan pemikirannya dalam
agama maupun politik yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh–tokoh penting
di Indonesia. Tercatat Soekarno,
Alimin, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo
para penggerak rakyat menuju kemerdekaan, besar di rumah ini. Soekarno dan Muso kala itu bersekolah di
HBS, Semaoen dan Alimin bekerja di ISDV, dan Kartosuwiryo bersekolah di NIAS. Tjokroaminoto
memberikan pandangan tentang arti kemerdekaan dari penjajahan sesama manusia, penyetaraan
derajat, pentingnya persatuan rakyat, dan perlunya zelfbestur (pemerintahan sendiri) dalam berkehidupan (Amelz, 1952).
Di meja makan seluruh
penghuni rumah kerap mendiskusikan nasib bangsa, hal ini menunjukan Tjokroaminoto
memaksimalkan setiap moment di rumah ini walau harus membagi waktu antara kesibukan dengan keluarga, mengurusi
industry batik bersama istrinya, dan juga pengajaran pada murid-murid di
indekost. Dengan kata lain Tjokroaminoto memainkan banyak peran secara
berssamaan. Kala itu ia sudah dikenal sebagai seorang yang radikal
dan dianggap sederajat dengan pihak manapun baik Belanda ataupun pejabat
lainnya. Ia berkeinginan karakternya dapat dimiliki oleh setiap kawan
sebangsanya, terutama dalam bersosialisasi dengan orang asing.
Ketika ia sedang berada di Solo ia didatangi oleh
delegasi Sarekat Dagang Islam-Solo untuk bergabung bersama organisasi
tersebut dan Tjokroaminoto menyatakan kesiapannya untuk bergabung karena ia
merasa sejalan dengan garis perjuangan kemerdekaan yang ia canangkan. Pada
awalnya SDI Samanhudi yang berdiri pada
1905 hanya berorientasi pada agama dan ekonomi,
barulah ketika Tjokroaminoto masuk organisasi tersebut,tepatnya 10 September
1912 ia mengusulkan agar SDI berubah menjadi SI.Hal ini bertujuan agar
organisasi tersebut bisa memiliki cakupan yang lebih luas dan berorientasi
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan agama, dengan tanpa meninggalkan
misi dagangnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan bergabungnya rakyat pribumi
non-pedagang pada organisasi tersebut untuk bersama menegakan keadilan di bumi
Imdonesia.
Prestasi pertama Tjokroaminoto ketika ia berhasil
menyelenggarakan vergadering (pertemuan) SI pertama pada 13 Januari 1913 di
Surabaya, kala itu ia menjabat sebagai ketua cabang Surabaya.
Berdasarkan hasil
kongres tersebut ia dinobatkan menjadi wakil ketua mendampingi H Samanhudi. Hal ini merupakan pencapaian
yang sangat bagus mengingat ia baru masuk ke
dalam organisasi SI pada tahun 1912. Pada kongres SI kedua
tanggal 19-20 April 1914 ia diangkat menjadi CSI (ketua umum SI), sedangkan H
Samanhudi menjadi ketua kehormatan. Tjokroaminoto ditugaskan untuk membentuk anggaran dasar
organisai tersebut. Pada masa kepemimpinannya SI
berkembang menjadi organisasi nasional yang sangat pesat dan tercatat pada 1919 anggota
SI mencapai 2.500.000 anggota. Pada 1913, SI mengajukan agar diakui sebagai
badan hukum yang bersifat nasional, namun hal tersebut ditolak oleh pemerintah
Belanda dan hanya mengakui SI yang bersifat kedaerahan.Pada tahun 1916 Tjokroaminoto
mengajukan pembentukan parlemen yang dipilih oleh rakyat. Menanggapi hal tersebut
pemerintah Belanda membetuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminto dan tokoh SI
lainnya seperti Abdul Muis dan Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan
itu.Namun karena hal tersebut dirasa tidak berpengaruh pada cita-citanya untuk
mencapai pemerintahan sendiri (zelfbesture) dan cenderung kooperatif dengan
pihak Belanda ia pun keluar dari dewan tersebut.
Pada tahun 1920 Tjokroaminoto dimasukkan kedalam penjara karena
dinilai pergerakkannya membahayakan pemerintahan Belanda selama 7 bulan, kemudian ia dibebaskan
dengan syarat bergabung lagi dengan Volksraad. Di Volksraad ia menunjukkan keberaniannya dengan
menentang segala putusan yang merugikan rakyat pribumi.
Tjokroaminoto juga banyak menulis di berbagai majalah
dan surat kabar. Salah satunya surat kabar Otoesan Hindia yang
merupakan surat kabar resmi SI, sekaligus sebagai pemilik usaha percetakan Setia Oesaha di Surabaya.
Tulisan-tulisan tersebut sangat tajam mengecam pemerintah belanda, karena
itulah pada 1923 harian tersebut dilarang terbit. Namun 2 tahun kemudian bersama Kartosuwiryo, Tjokroaminoto menerbitkan Fadjar Asia. Selain itu ia juga kerap
menulis buku salah satunya ialah Islam
dan sosialisme (1924), Tarich Islam (1931) dan masih banyak karya lainnya. Pekerjaan
lain yang dijalankannya adalah sebagai pengacara. Tjokroaminoto dikenal
cerdas dan terampil di meja hijau. Dia seringkali membela anggota-anggota SI
yang dituduh melanggar hukum dan Dia senantiasa menunjukan wataknya yang siap
membela sesama.
Pada tahun 1929 SI berubah menjadi
Partai Sarekat Islam Indonesia dengan maksud menentang pemerintah Belanda yang
semakin menancapkan Kapitalisme dan Kolonialisme di Indonesia. Dampaknya banyak anggota PSII
yang dijebloskan ke penjara dan diasingkan ke Digul, Irian Jaya. Selain itu
pegawai negeri dilarang menjadi anggota PSII. Selama karirnya di SI, penulis menilai Tjokro
memaksimalkan perannya sebagai ketua dengan melakukan banyak
perubahan positif, yang menunjukan jiwa agent
of chance timbul dalam dirinya.
Meski rintangan terjadi di PSII, tetapi pribadi Tjokro
tetap kokoh, dan terus bekerja keras, sehingga membuatnya sering jatuh sakit.
Pada Kongres PSII ke-20 di Banjarmasin menjadi kongres terakhir baginya, sejak
saat itu Tjokro sakit-sakitan, namun tetap memaksakan mengurus PSII yang sedang
gemuruh karena tekanan dari pemerintah Belanda. Penyakit liver yang dideritanya
semakin parah dan pada 17 Desember 1934 , Tjokroaminoto wafat di Yogyakarta dan
dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta. Berdasarkan SK Presiden No.590 tahun
1961, pada tanggal 9 November 1961, pemerintah Republik Indonesia menganugerahi
H.O.S.Tjokroaminoto sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesa.
Setelah kematiannya para murid H.O.S Tjokroaminoto
memiliki banyak pengikut dan menyatakan kemerdekaannya masing-masing. Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kartosuwiryo
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 dan Muso
memproklamirkan berdirinya Negara Soviet Indonesia pada 18 September 1948 dan
akhirnya saling berseteru. Perbedaan ideologi para muridnya menunjukan adanya
perbedaan tafsir dari para muridnya. Andai mereka bisa saling bekerjasama
dengan mengesampingkan egonya masing-masing tentu akan lebih baik jadinya.
Terlepas dari ideologi yang dimiliki para
murid-murinya, Tjokroaminoto berhasil menanamkan jiwa-jiwa merdeka, yaitu
kesetaraan derajat, pentingnya persatuan untuk perubahan, dan terciptanya
masyarakat yang religius dan berkeadilan.
Sumber:
·
Amelz. 1952. H.O.S.
Tjokroaminoto Hidup dan perdjuangannja. Jakarta; Bulan Bintang
·
Jamil, Rasuli. 2011. Manhaj Bernegara
dalam Haji (Kajian Sirah Nabawi di Indonesia). Tanggerang; Media Madania