cuma ingin berekreasi dengan pemikiran-pemikiran

Kamis, 09 Maret 2017

Hukum adalah permainan untuk menjaga kekuasaan

Hukum adalah sebuah ketetapan yang menjelaskan tentang norma dan sangsi di suatu tempat. Hokum juga memiliki sifat yang memaksa yang mewajibkan semua orang untuk taat terhadap suatu norma dan apabila tidak menaati nya maka akan mendapatkan sangsi. Contoh nya di sekolah menengah atas, yang mewajibkan seluruh siswa nya untuk hadir di sekolah pukul 07.00 . Dan jika ada siswa yang hadir lebih dari pukul 07.00 maka akan mendapatkan sangsi yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Belakangan ini kita telah mendengar kasus korupsi pengadaan E-KTP yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara. Mengapa demikian? Mengapa mereka begitu berani sekali memakan uang yang bukan hak mereka? Apakah hokum yang berlaku di negara ini tidak mengatur tentang kasus tindak pidana korupsi? Atau mungkin sangsi yang diberikan kepada pelaku tipikor ini tidak sepadan dengan pelanggaran norma yang mereka lakukan? Tentu saja tidak, karena di dalam uu kenegaraan telah diatur nilai-nilai dan norma-norma yang mesti kita jadikan sebagai pijakan dalam melakukan sesuatu. Tetapi, jika kita lihat kebelakang kasus korupsi bukan pertama kali terjadi di negeri ini. Bahkan, pelaku-pelaku yang sudah lama berada dipenjara pun tidak menutup kemungkinan akan melakukan tindakan korupsi setelah mereka keluar dari penjara. Lalu, apa yang salah dari sistem di negara ini? Boleh jadi karena sangsi yang diberikan tidak sepadan dengan norma-norma yang mereka langgar. Saya selalu teringat sajak yang berjudul Sajak Salsu karya Agus R. Sarjono yang berbunyi:
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu
. 1998
Dari sajak palsu diatas kita bisa melihat betapa mirisnya negeri ini yang sejak dini telah dikenalkan tentang kepalsuan-kepalsuan dan perbuatan-perbuatan kotor yang seharusnya kita hindari malah kita selami. Betapa sulitnya kita keluar dari zona kepalsuan ini karena telah menjadi budaya masyarakat yang mengakar. Karena jika akar nya saja sudah kotor kita tidak bisa mengharapkan buah yang bersih atau masyarakat yang bersih. Perilaku tipikor ini pun seolah-olah menciderai butir-butir Pancasila dari butir pertama hingga butir kelima. Tipikor ini juga seolah-olah menghilangkan keyakinan terhadap tuhan, karena orang yang percaya adanya tuhan pasti akan takut berbuat sewenang-wenang. Lantas, hokum apakah yang seharusnya diterapkan di negeri ini? Mungkin potong tangan bisa menjadi salah satu opsi untuk dijadikan sangsi terhadap para koruptor yang dimana akan membuat jera dan takut kepada para pelaku dan calon-calon koruptor.


Tidak ada komentar: